Media Humas Polri//Batola
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Barito Kuala (Batola) di bawah kepemimpinan Bupati Bahrul Ilmi menuai gelombang protes dari para pedagang kaki lima (PKL). Penertiban yang dilakukan mendadak tanpa pemberitahuan resmi dinilai sangat merugikan pedagang, bahkan disebut tidak manusiawi.
Sudah lebih dari tiga minggu sejak kabar larangan berjualan di kawasan tertentu mencuat. Namun, tindakan ekstrem baru dilakukan tiga hari pasca-kabar tersebut beredar. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dikerahkan sejak pagi hingga malam untuk menghalau para pedagang yang tetap mencoba menjajakan dagangan, khususnya buah-buahan yang sudah terlanjur mereka beli.
“Tak ada pemberitahuan resmi, tidak ada mediasi, tahu-tahu kami diusir. Buah kami membusuk, kami rugi besar,” ujar salah satu pedagang yang sudah berjualan lebih dari dua dekade di kawasan tersebut.
Para pedagang kemudian berinisiatif mengadakan pertemuan dan membentuk forum untuk mencari solusi. Mereka meminta agar diberi kesempatan berdialog langsung dengan Bupati. Namun hingga pertemuan terakhir pada tanggal 27 Juni 2025 lalu, harapan itu belum juga terwujud.
Salah satu perwakilan pedagang menyebutkan bahwa upaya mendekati Bupati telah dilakukan melalui berbagai jalur, termasuk mendatangi kediamannya. Namun dialog yang diharapkan justru hanya difasilitasi oleh Kepala Satpol PP dan tanpa melibatkan PKL secara langsung.
Dari pihak pemerintah daerah mengumumkan bahwa seluruh PKL akan dipindahkan ke area pasar dan terminal. Puluhan petugas gabungan dari Satpol PP, TNI, dan Polri juga tampak mengawal kegiatan tersebut.
Namun, para pedagang merasa solusi tersebut tidak adil dan tidak berpihak pada mereka. “Kami hanya ingin diberi waktu lima hari untuk menghabiskan buah dagangan kami, lalu panggil kami untuk mencari solusi bersama. Tapi itu pun tidak dikabulkan,” keluh pedagang lainnya.
Mereka menyesalkan sikap Bupati Bahrul Ilmi yang terkesan menutup mata terhadap kondisi rakyat kecil. “Pak Bahrul dulu datang kampanye ke lapak kami, menjanjikan kami bisa berjualan dengan aman dan nyaman. Tapi sekarang beliau bahkan tidak mau menemui kami,” ujar seorang pedagang sambil menunjukkan kartu identitas warga Batola.
Lebih jauh, pedagang menilai bahwa kebijakan ini tidak diterapkan secara merata. “Hanya lapak kami yang dibersihkan, sementara di lokasi lain yang juga berada di pinggir jalan tetap dibiarkan. Ini tebang pilih!” tegasnya.
Para pedagang menyesalkan tindakan Bupati yang dinilai tidak melalui mekanisme musyawarah atau koordinasi dengan instansi terkait. “Seharusnya rapat koordinasi dilakukan dulu sebelum ada tindakan ekstrem. Ini malah sebaliknya, sudah dihalau dulu, baru dikumpulkan,” ucap seorang tokoh masyarakat yang turut prihatin atas kondisi para PKL.
Kini, para PKL berencana menghadap langsung ke Gubernur Kalimantan Selatan untuk mencari keadilan. Mereka berharap Gubernur bisa menengahi dan memberikan solusi yang lebih manusiawi. “Kami bukan ingin melawan pemerintah, kami hanya ingin keadilan. Tolong dengarkan suara kami,” pungkas mereka. ( Gunawan )





