Media Humas Polri//Indramayu
Dugaan praktik penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non-prosedural kembali mencuat di Indramayu. Seorang warga Desa Lohbener, Kecamatan Lohbener, berinisial T, terpaksa dipulangkan dari Singapura setelah bekerja hanya beberapa hari. Kepulangan T diwarnai dengan tuntutan uang tebusan senilai puluhan juta rupiah oleh pihak yang memberangkatkannya.
PMI berinisial T diberangkatkan ke Singapura pada 14 Oktober 2025. Namun, baru bekerja hitungan hari, ia dilaporkan mengalami kecelakaan kerja, yaitu jatuh dari tangga. Kondisi ini memicu kekhawatiran keluarga di Indramayu dan mendesak agar T segera dipulangkan.
Kekhawatiran keluarga semakin memuncak lantaran mencurigai T diberangkatkan melalui jalur ilegal. Kecurigaan ini diperkuat dengan adanya permintaan tebusan dari pihak sponsor.
“Kami diminta tebusan senilai Rp 20 juta oleh sponsor. Kami tidak mampu, hanya bisa memberikan sebesar Rp 5 juta kepada perwakilan sponsor atas nama Anisa,” ungkap Udin, suami dari T.
Untuk memastikan status keberangkatan istrinya, Udin, didampingi oleh kuasa hukumnya, Winata selaku Ketua LSM Penjara Indramayu, segera mendatangi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Indramayu.
Hasil verifikasi data menunjukkan bahwa T tidak ditemukan atau tidak terdaftar baik di Disnaker maupun di BP2MI sebagai pekerja migran yang ditempatkan secara resmi. Fakta ini memperkuat dugaan adanya penempatan non-prosedural.
Menanggapi tudingan penempatan ilegal dan tuntutan tebusan, Anisa, perwakilan pihak sponsor, memberikan klarifikasi melalui sambungan seluler (WhatsApp) yang bertolak belakang dengan temuan Disnaker/BP2MI.
Anisa mengklaim keberangkatan T dilakukan secara resmi menggunakan skema ‘Calling Visa’ dari Singapura, meskipun diakuinya tidak melalui Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) atau PT.
“Kami tidak menggunakan PT, ini ‘Calling Visa’ resmi dari Singapura sesuai prosedur. Saudara PMI sudah aman di agensi. Jika mau mengundurkan diri atau pulang, dia harus menebus sekitar Rp 20 juta,” ujar Anisa, 30/10/25
Terkait insiden kecelakaan, Anisa menyebutnya sebagai “kelalaiannya sendiri.” Meskipun memberangkatkan tanpa PT, Anisa mengklaim terafiliasi dengan perusahaan resmi. “Saya juga orang PT Balanta Budi Prima,” tambahnya.
Atas dugaan praktik penempatan non-prosedural yang berpotensi melanggar hukum, pihak keluarga T telah mengambil langkah hukum. Didampingi LSM Penjara Indramayu, keluarga telah resmi melaporkan kasus ini ke BP2MI Indramayu pada 29 Oktober 2025.
Ketua LSM Penjara Indramayu, Winata, menegaskan tuntutan mereka kepada pemerintah.
“Kami mendesak agar instansi terkait segera melakukan investigasi. Hasil pengecekan kami, atas nama PMI tidak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja Indramayu sebagai penempatan PMI,” tegas Winata.
Winata juga mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas praktik non-prosedural ini, terutama terkait tuntutan uang tebusan, karena dikhawatirkan kasus ini mengarah pada dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pencegahan itu penting. Persoalan ini tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Sudah sepatutnya menyelamatkan warga Indramayu dari hal-hal yang akan terjadi,” pungkas Winata.(Carikin)





