Kepala Sekolah Dikabupaten Kampar Jadi Bulan bulanan Oknum LSM Dan Wartawan

Media Humas Polri//Riau

Kepala sekolah di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dibuat gerah dengan munculnya sekelompok orang yang mengaku sebagai wartawan dan aktivis dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tamu tidak diundang itu bermaksud mencari-cari kesalahan dari manajemen sekolah yang ujung-ujungnya menekan Kepala Sekolah dengan dalih temuan penyimpangan penggunaan anggaran BOS dan lain sebagainya.
Bahkan ada pula yang mempersoalkan masalah seragam sekolah, pembangunan fisik hingga bantuan sekolah lainnya.

Bacaan Lainnya

Mereka juga mendatangi sekolah-sekolah yang baru saja mendapat proyek pembangunan kelas atau bantuan peralatan penunjang kegiatan belajar mengajar.
“Mereka mencari kesalahan di sana-sini yang ujung-ujungnya adalah ingin meminta uang,” Ungkap seorang Pengajar disalah satu SMA Negeri di Kecamatan Tambang, yang tidak ingin namanya di sebut karena suatu alasan, pada media MHP Kamis 13/11/2025

Meski mengaku sebagai wartawan, kata Dia, mereka sama sekali tidak bermaksud wawancara untuk membuat sebuah berita. Mereka justru terkesan mencari-cari kesalahan untuk memojokkan setiap kepala sekolah yang didatangi.Bahkan terkadang mereka juga mengancam akan membawa kepala sekolah tersebut ke jalur hukum, karena dituding menyalahgunakan jabatannya untuk meraih keuntungan pribadi.

”Dalam kondisi terpojok itu, biasanya mereka menawarkan opsi damai atau diberi uang agar supaya tidak diperpanjang dan segera pergi dari sekolah.
Namun, beberapa hari kemudian, teman-teman mereka menyusul datang ke sekolah untuk keperluan yang sama,” tambahnya.

Salah seorang kepala Sekolah Negeri di Kecamatan Tambang, yang juga keberatan disebutkan namanya mengaku jenuh dengan ulah sekelompok orang yang mengaku wartawan dan aktivis LSM itu. Mereka mengaku wartawan dari majalah atau surat yang kabar yang belum pernah didengarnya. Selain mengaku wartawan, mereka juga mengaku sebagai aktivis LSM. Nama media massa dan LSM itu mencatut beberapa lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan lain-lain.

”Saya itu malah belum pernah didatangi wartawan sungguhan yang ingin mencari data untuk keperluan berita. Semua wartawan yang datang ke sekolah saya itu sangat diragukan profesinya. Mereka hanya mengaku wartawan, tapi sebetulnya punya maksud lain yakni meminta uang,” ungkapnya.

Wartawan dan aktivis LSM itu, kata dia, biasa datang berkelompok. Terkadang juga datang sendiri.Namun beberapa hari kemudian muncul pula oknum lain yang kami duga teman-temannya. ”Orang yang datang pertama itu seolah-olah memberi kabar kepada teman-temannya bahwa kemarin saya datang ke sekolah ini dan dapat uang segini. Dia lalu meminta temannya datang ke sekolah tersebut untuk melakukan hal yang sama,” paparnya.Menurut para pakar hukum dan Dewan Pers, tindakan wartawan yang sering meminta “jatah” atau uang kepada pihak sekolah merupakan tindakan melanggar hukum dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), serta merusak citra pers nasional.
Berikut rincian pandangan para ahli hukum dan implikasi hukumnya:

1.Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
Tindakan meminta uang atau fasilitas dari narasumber, termasuk sekolah, secara tegas dilarang dalam Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 6 KEJ menyatakan, “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Suap di sini dimaknai sebagai segala pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas yang dapat memengaruhi independensi wartawan dan fungsi kontrol pers.
Wartawan wajib bersikap independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk dalam menjalankan tugasnya. Meminta jatah menunjukkan ketidakindependenan dan potensi konflik kepentingan.

2.Bukan Perilaku Wartawan Profesional
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, menegaskan bahwa tindakan meminta-minta uang adalah bukan perilaku wartawan profesional. Mereka yang melakukan hal tersebut sering kali merupakan oknum yang tidak memahami KEJ, bahkan mungkin berasal dari media atau organisasi yang tidak terdaftar di Dewan Pers.

3.Konsekuensi Hukum (Pidana)
Secara hukum, tindakan meminta “jatah” dengan cara menekan atau mengancam akan diberitakan secara negatif dapat dikategorikan sebagai tindakan pemerasan atau penipuan.
Pihak sekolah yang merasa dirugikan atau diancam dapat melapor ke pihak kepolisian. Oknum wartawan tersebut dapat dituntut secara pidana menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pemerasan, bukan dalam konteks sengketa pers yang diselesaikan melalui Dewan Pers.
Sudah ada preseden kasus di mana oknum wartawan pemeras kepala sekolah dituntut hukuman penjara.

4.Perlindungan Hukum bagi Pihak Sekolah
Masyarakat atau institusi (seperti sekolah) tidak perlu melayani wartawan yang meminta “amplop” atau jatah. Jika ada pemberitaan yang dirasa merugikan akibat menolak permintaan tersebut, pihak sekolah memiliki Hak Jawab atau Hak Koreksi yang dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ringkasan
Pakar hukum dan Dewan Pers sepakat bahwa wartawan yang meminta jatah ke sekolah adalah pelanggar etika dan hukum. Tindakan tersebut mencoreng profesionalisme jurnalistik dan dapat dikenai sanksi pidana jika memenuhi unsur pemerasan. Pihak sekolah didorong untuk tidak melayani permintaan tersebut dan melaporkannya ke Dewan Pers atau aparat penegak hukum. (YN)

Pos terkait