Ketika KUD Dipimpin Pelaku Kriminal Cacat Moral dan Integritas Investor China Berkuasa Rakyat Disingkirkan

Ketika KUD Dipimpin Pelaku Kriminal Cacat Moral dan Integritas Investor China Berkuasa Rakyat Disingkirkan

Sulut // Media Humas Polri

Bacaan Lainnya

Di balik jargon pemberdayaan dan semangat gotong royong koperasi, tersimpan ironi getir yang mencoreng wajah Koperasi Unit Desa (KUD) Perintis Tanoyan. Sosok Jasman Tonggi, S.P., yang kini menjabat sebagai Ketua KUD Perintis, ternyata menyimpan sejarah kelam yang tak bisa disapu di bawah karpet. Sebuah rekam jejak yang seharusnya mengundang keprihatinan mendalam, jika bukan kemarahan publik.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kotamobagu Nomor 96/PID.B/2015/PN Ktg, Jasman Tonggi telah secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap warga, kala ia menjabat sebagai Sangadi (Kepala Desa). Vonis dua bulan penjara yang dijatuhkan bukan sekadar catatan personal, melainkan cermin kebobrokan moral yang bertentangan langsung dengan semangat koperasi—sebuah lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, etika, dan tanggung jawab sosial.

Celakanya, pelanggaran hukum tersebut bukan hanya soal masa lalu, tapi kini menjadi luka yang dibawa masuk ke jantung organisasi koperasi. AD/ART KUD Perintis dengan tegas melarang siapa pun yang memiliki riwayat pidana dan perilaku tercela untuk menduduki posisi pengurus. Pasal 27 ayat (3) huruf k bukan hiasan teks, tapi aturan yang wajib ditegakkan demi kredibilitas dan marwah kelembagaan.

Namun, apa yang terjadi? Jasman Tonggi tak hanya lolos verifikasi, tapi kini berkuasa penuh sebagai Ketua. Maka, pertanyaan-pertanyaan mendesak pun bermunculan:

Siapa yang meloloskan figur bermasalah ini? Di mana peran Dinas Koperasi? Di mana suara anggota koperasi? Apakah moralitas sudah dilucuti dari syarat kepemimpinan hanya demi akomodasi politik atau kepentingan modal?

Kita tidak sedang berbicara soal kesalahan administratif kecil. Ini adalah soal kekerasan terhadap warga. Tindakan kekerasan oleh seorang pemimpin kepada rakyatnya adalah pengkhianatan terhadap mandat sosial. Ketika orang seperti ini diangkat memimpin lembaga strategis yang mengelola izin tambang dan aset rakyat, maka kita patut khawatir: ke mana arah KUD Perintis akan dibawa?

Lebih jauh lagi, KUD Perintis bukan hanya sekadar koperasi pedesaan biasa. Ia memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 100 hektare—lahan yang kini jadi rebutan antara investor asing dan para penambang rakyat lokal. Di sinilah letak paradoks memuakkan itu: di bawah kepemimpinan yang cacat moral, KUD Perintis justru cenderung lebih loyal pada investor asing ketimbang rakyat sendiri.

Terdengar desas-desus (yang sayangnya terlalu masuk akal) bahwa lahan 100 hektare tersebut telah “digadaikan” ke investor asal Tiongkok demi menutupi kekacauan finansial dan menyelamatkan izin MODI KUD. Maka, pertanyaannya makin tajam dan getir:

Apakah rakyat Tanoyan akan tetap memiliki tempat dalam pengelolaan tambang, atau akan disingkirkan secara sistematis demi memuluskan jalan emas investor?

Dan di titik inilah kita harus bertanya lebih keras:

Apakah KUD Perintis kini berfungsi untuk rakyat, atau berubah menjadi alat kolonialisme ekonomi baru yang difasilitasi oleh pemimpin bermasalah?

Jasman Tonggi bukan hanya simbol dari pelanggaran hukum masa lalu, tapi juga ancaman masa depan bagi demokrasi ekonomi di Tanoyan. Kepemimpinannya yang dibangun di atas rekam jejak kriminal dan pelanggaran AD/ART koperasi merupakan bukti abainya institusi terhadap integritas dan martabat organisasi rakyat.

Kini saatnya anggota koperasi, tokoh masyarakat, dan Dinas Koperasi membuka mata dan bertindak. Diam bukanlah pilihan. Legitimasi moral Jasman Tonggi sebagai Ketua KUD sudah ambruk. Kepercayaan publik tak bisa dipulihkan dengan narasi pengampunan pribadi. Ini soal struktur kepemimpinan koperasi yang rusak dari akarnya.

Dan bila dibiarkan, KUD Perintis bukan hanya akan kehilangan jati dirinya sebagai alat pemberdayaan rakyat, tapi menjadi kudeta terselubung terhadap hak-hak ekonomi masyarakat Tanoyan.

Maka, rakyat Tanoyan harus bertanya:

Apakah kami akan jadi penonton di atas tanah sendiri? Apakah tambang akan menjadi kuburan bagi hak-hak lokal, dan panggung untuk kapitalisme rakus yang dibungkus jargon koperasi?

Atau Apakah kami akan merebut kembali koperasi ini dari tangan yang tak layak, dan mengembalikannya ke pelukan rakyat tanoyan yang berdaulat?

(Rusfandi)

Pos terkait