Poso // Media Humas Polri
Praktik perombakan kawasan hutan milik negara di wilayah Desa Didiri, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, terus berlanjut meski telah ada regulasi yang melarang aktivitas tersebut. Ironisnya, aktivitas ini terjadi di tengah program perhutanan sosial seluas 433 hektare,melalui Lembaga pengelolaan hutan Desa (LPHD) yang notabenenya belum di kelola secara baik.
Malah warga sekitar diduga secara ilegal mengubah fungsi hutan menjadi lahan kebun bahkan meng kavling dan menjualnya kepada pihak luar, termasuk pengusaha dan warga Desa Tentena. Padahal, kawasan tersebut merupakan hutan negara yang dilindungi.
Menurut informasi yang diperoleh, sebagian besar warga justru tidak mengelola lahan dalam program perhutanan sosial, dan malah merambah kawasan hutan lain di sekitar lokasi. Hal ini menimbulkan dugaan lemahnya pengawasan dari pihak Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kehutanan Kabupaten Poso.
Kepala Desa Didiri, Alfian Buriko, membenarkan adanya praktik jual beli lahan hutan oleh warganya. Saat dikonfirmasi pada 12 April 2025, ia mengakui bahwa beberapa warga bahkan meminta dirinya untuk menerbitkan surat jual beli, namun ia menolak karena sadar bahwa itu merupakan kawasan hutan negara.
“Saya sudah jelaskan bahwa itu kawasan negara, tidak bisa diperdagangkan,” ujarnya.Sementara itu, Kepala UPT Kehutanan Poso, Lukman, saat dihubungi melalui WhatsApp pada 15 April 2025, menyatakan bahwa pihaknya telah menugaskan Kepala Resort Kehutanan, Alpius, untuk menghentikan aktivitas ilegal tersebut dan mengajak kepala desa untuk turut memberi pemahaman kepada warga.
“Pengawasan bukan hanya tugas kehutanan, tapi juga peran kepala desa karena itu wilayah mereka. Kami sudah tindak lanjuti laporan dan menemui kepala desa terkait,” ujar Lukman. Ia juga membantah tudingan bahwa pengawasan lemah dan menyatakan bahwa semua prosedur dijalankan sesuai SOP.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 dan 78, serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap aktivitas di kawasan hutan tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana dan administratif.
Lebih mengejutkan lagi, seorang warga bernama Desi Galamba mengakui melalui sambungan WhatsApp pada 17 April 2025 bahwa dirinya membeli lahan hutan seluas 2 hektare, dan menyebut ada pihak lain yang membeli hingga 24 hektare. Ia menyebut pembelian itu diduga mengatasnamakan salah satu oknum anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Roy Kalloh.
“Saya sempat menegur dia, kenapa berani sekali membeli hutan dan mengatasnamakan Pak Roy,” ujar Desi sebelum mengakhiri percakapan.
Kasus ini menjadi sorotan serius akan lemahnya pengawasan dan perlunya penindakan tegas terhadap pelanggaran di kawasan hutan negara. Jika tidak diatasi, perusakan hutan berpotensi terus meluas dan merusak tatanan lingkungan serta hukum di wilayah tersebut.(Eferdi)