Media Humas Polri//Banjar
Suasana Grand Tan Banjar pada Selasa (30/9/2025) mendadak memanas. Puluhan pemilik dan ahli waris condotel yang tergabung dalam Perkumpulan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (PPPRS) Grand Banua melakukan aksi menuntut hak mereka yang hingga kini tak kunjung diberikan.
Sejak tahun 2011–2013, sekitar 200 unit condotel telah terjual kepada para pemilik. Namun, janji pemecahan sertifikat tak pernah terealisasi. Sertifikat masih “ngendon” dalam bentuk sertifikat induk atas nama PT BAS, yang menjadi alasan kuat bagi perusahaan untuk menguasai aset tersebut seakan-akan seluruhnya milik mereka.
“Ini sudah keterlaluan! Kami beli unit dengan uang sah, tapi sertifikat tak pernah kami terima. Belakangan malah ketahuan sertifikat induk itu digadaikan ke bank swasta. Kreditnya macet, lalu unit kami dilelang seenaknya,” tegas Ketua PPPRS, Kaharjo, dalam orasinya.
Ironisnya, dari hasil lelang itu, hanya 18 unit yang sah berpindah tangan. Namun, pihak bernama TAN—yang mengaku kuasa dari Christ Baby—malah mengklaim seluruh aset hotel sebagai miliknya. TAN bahkan bersikukuh berlandaskan SHGB No. 452 atas nama PT BAS, tanpa berani menunjukkan bukti cessie pembelian dari bank.
“Permainan apa ini? Kalau seperti ini, sampai kiamat pun hak kami tidak akan pernah dipenuhi. Jelas-jelas ini bentuk perampasan hak pemilik sah,” lanjut Kaharjo dengan nada tinggi.
Masalah makin runyam ketika condotel yang awalnya beroperasi dengan nama Aston berakhir kontraknya, lalu secara sepihak diubah menjadi Grand Tan. Para pemilik condotel menegaskan mereka tidak pernah dilibatkan apalagi memberikan persetujuan atas pergantian nama tersebut.
Lebih parah lagi, dua direktur PT BAS memang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalsel. Namun, alih-alih menyelesaikan kewajiban, muncul skenario restorative justice yang justru berujung buntu. Direktur PT BAS sempat berjanji memecah sertifikat, bahkan menyerahkan cek Rp500 juta sebagai tanda keseriusan. Faktanya, cek tersebut kosong alias tidak ada dananya!
“Ini jelas jebakan! Janji manis tapi palsu, seakan-akan mau menyelesaikan masalah, padahal makin mempermainkan pemilik condotel,” kecam Kaharjo.
Tak tinggal diam, pemilik condotel memasang spanduk besar di area Grand Tan Banjar bertuliskan “Stop Menggunakan Unit-Unit Kami untuk Kepentingan Pribadi” hingga “Bersiaplah, LP Kami Akan Terus Berjalan: Pasal Penipuan, Penggelapan, Penadahan Barang, hingga Pemufakatan Jahat.”
Di tengah kisruh ini, kuasa hukum PT BAS, Fauzan Remon, mengakui adanya persoalan serius yang belum terselesaikan. Ia berjanji akan memperjuangkan kepastian hukum bagi 179 unit condotel yang nasibnya masih menggantung.
“Harus ada kepastian. Setiap pemilik berhak mendapatkan sertifikat legal. Saya akan dorong agar proses di BPN dipercepat dan sertifikat segera diberikan kepada masing-masing pemilik,” ucap Fauzan.
Kini bola panas berada di tangan aparat penegak hukum dan manajemen Grand Tan. Para pemilik condotel menegaskan tidak akan berhenti bersuara hingga hak mereka dipenuhi.
“Jangan anggap kami lemah. Kami akan terus lawan sampai keadilan ditegakkan, meski harus menghadapi konglomerat sekalipun!” tutup Kaharjo lantang. ( Irfani)





