Media Humas Polri//Bolaang Mongondow
Di balik gemuruh aktivitas tambang emas di Jalur 7 yang masuk dalam wilayah IUP OP milik Koperasi Unit Desa (KUD) Perintis, tersimpan kisah yang lebih dalam dari sekadar urusan emas dan alat berat. Narasi yang dibangun secara sepihak oleh pengurus KUD bahwa ada aktivitas “ilegal” ternyata perlahan terkuak sebagai narasi yang dipelintir dan penuh skenario terselubung.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penambangan di Jalur 7 bukanlah penambangan liar. Kegiatan tersebut memiliki dasar hukum yang jelas, berupa kontrak kerja sama antara KUD Perintis dengan para penambang lokal yang telah terjalin sejak tahun 2020 bersama pengurus KUD sebelumnya. Kontrak ini menjadi legal standing utama yang membuktikan bahwa para penambang tidak melanggar hukum dan justru bekerja dalam koridor yang disepakati secara resmi.
Namun yang menjadi tanda tanya besar adalah sikap KUD sendiri. Alih-alih memberikan kepastian hukum dan ruang aman bagi mitra penambang yang sudah lebih dahulu bekerja di kawasan tersebut, pengurus KUD malah dua kali melayangkan surat penghentian aktivitas penambangan kepada kelompok-kelompok kecil penambang lokal. Sikap ini tidak hanya membingungkan, tapi juga menimbulkan kecurigaan publik akan adanya agenda tersembunyi.
Diduga ada kepentingan tertentu KUD di balik penertiban. Sumber internal menyebutkan bahwa terdapat agenda besar yang sedang dimainkan oleh pengurus KUD Perintis. Sekitar 100 hektare lahan di wilayah IUP OP disebut-sebut telah dijaminkan secara diam-diam ke salah satu investor besar. Investor ini, menurut sumber tersebut, sudah membantu mengurus dokumen MODI, RKAB, membayar pajak, serta menyelesaikan administrasi lainnya — yang ironisnya belum tuntas, namun telah diberikan hak prioritas.
Ini permainan lama. Mereka (KUD) pura-pura ingin menegakkan aturan, tapi sebenarnya ingin mengosongkan wilayah untuk diserahkan ke investor tertentu. Sementara kami, yang sudah lama ikut aturan KUD, justru disingkirkan,” ujar seorang penambang lokal yang meminta identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan.
Fakta bahwa para penambang lokal yang telah berkontrak sejak 2020 justru dikirim surat pemberhentian oleh pengurus KUD, menunjukkan adanya ketimpangan kebijakan yang tidak adil. Tidak ada proses mediasi yang terbuka, tidak ada evaluasi publik terhadap kontrak lama. Semua keputusan dilakukan sepihak dan tertutup.
Sebagai sebuah koperasi, KUD Perintis seharusnya menjunjung tinggi nilai musyawarah, keterbukaan, dan prinsip “dari anggota, oleh anggota, untuk anggota”. Namun realitas di lapangan justru sebaliknya. Kepentingan investor lebih diutamakan, sedangkan penambang lokal yang telah menunjukkan itikad baik justru ditekan.
Muncul dugaan bahwa narasi “penambangan ilegal” sengaja dikembangkan untuk menciptakan alasan formal agar wilayah Jalur 7 bisa segera “dibersihkan” dari aktivitas rakyat. Tujuannya jelas: memuluskan jalan bagi pengambilalihan wilayah tambang oleh pihak investor yang membawa modal besar.
Penambangan emas di Jalur 7 adalah aktivitas legal yang berpayung hukum kontrak kerja sejak 2020. Namun munculnya tindakan pengurus KUD yang tiba-tiba represif terhadap penambang lokal memunculkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya ingin mereka lindungi? Apakah anggotanya sendiri atau kepentingan investor? ( Rusfandi)





