Balai Bu Titien Jadi Ruang Baru Diskusi Demokrasi Denny Indrayana Soroti Oligarki Dan Duitokrasi Di kalsel

Media Humas Polri// Banjarbaru

Isu demokrasi, lingkungan hidup, dan kekuasaan menjadi sorotan utama dalam diskusi publik bertajuk “Oligarki, Otot, Otak, Ongkos: Hikayat Kalsel dan Indonesia” yang digelar di Pendopo Mami Titien, Jalan A. Yani KM.36, Gang Purnama No.14B, Simpang Empat, Banjarbaru, Minggu (02/10/2025) siang.

Bacaan Lainnya

Kegiatan yang diawali dengan makan siang bersama ini menghadirkan tiga narasumber berpengaruh, yakni Berry Nahdian Forqan, pegiat sosial-politik dan lingkungan hidup; Kisworo Dwi Cahyono, aktivis lingkungan dan pejuang penyelamatan Pegunungan Meratus; serta Prof. H. Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, turut hadir Advokat Banua Lenny Susantya, awak media, dan tokoh lainnya.

Diskusi berlangsung hangat dan terbuka, membedah hubungan antara oligarki, kekuatan sosial, intelektualitas, dan biaya politik dalam konteks pembangunan Kalimantan Selatan serta dinamika demokrasi nasional.

Dalam sambutannya, Prof. H. Denny Indrayana menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan diskusi pertama yang digelar di pendopo baru yang sementara dinamai Balai Bu Titien, berlokasi di kediamannya di Gang Purnama.

“Hari ini diskusi pertama kita di balai yang belum kita tentukan namanya. Sementara kita beri nama Balai Bu Titien di rumah saya di Gg. Purnama,” ujar Denny.

Ia berharap balai tersebut menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan mencari solusi atas berbagai persoalan sosial, politik, serta kebudayaan di Kalimantan Selatan.

“Harapannya tempat ini menjadi wadah saling berdiskusi, bertukar pikiran tentang segala isu dan unsur untuk mencari solusi terbaik bagi Banua. Mudah-mudahan bisa dimanfaatkan dengan baik untuk ikhtiar kita bersama. Kegiatan apa pun boleh dilakukan di sini, dari seni, budaya, pertemuan, dan lainnya,” katanya.

Denny juga menyinggung kondisi politik nasional yang dinilainya kian dikuasai oleh kepentingan uang.

“Kita tahu, situasi demokrasi kita hari ini sedang dibajak oleh duitokrasi. Penyembuhannya tidak lain adalah pendidikan politik yang baik. Apapun yang kita ikhtiarkan, sekecil apapun, mudah-mudahan memberi warna positif bagi Banua,” ujarnya.

Sementara itu, Berry Nahdian Forqan menilai kehadiran Balai Bu Titien menjadi simbol penting bagi gerakan sosial dan politik di daerah.

“Hadirnya balai ini bagian untuk menggalang ide, gagasan, dan konsep, untuk mencermati berbagai situasi politik pada saat ini. Harapannya nanti muncul upaya-upaya dan gerakan-gerakan perubahan di Kalimantan Selatan,” ucap Berry.

Dalam kesempatan yang sama, Kisworo Dwi Cahyono menegaskan bahwa perjuangan lingkungan di Kalimantan Selatan tidak bisa dipisahkan dari persoalan keadilan sosial dan politik.

“Meratus bukan hanya bentang alam, tapi simbol perjuangan rakyat Kalimantan Selatan melawan ketidakadilan ekologis,” tegas Kisworo.

Diskusi publik ini menjadi momentum reflektif bagi akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam memperjuangkan demokrasi yang bersih dan berkeadilan.

Denny menegaskan, upaya kecil sekalipun dapat menjadi bagian dari gerakan besar untuk membenahi bangsa.

“Kita berharap tahun 2026 dan ke depan, dengan musim politik yang tidak selalu baik-baik saja, tempat ini menjadi ruang ikhtiar bersama untuk mencari solusi, memperkuat kesadaran, dan menumbuhkan semangat perubahan,” pungkasnya. (Irfani)

Pos terkait